Signifikansi dimensi pembangunan manusia
Signifikansi dimensi pembangunan manusia di tengah gencarnya target pengurangan luasan kumuh mencuat kembali dalam Pelatihan Tim Korkot dan Fasilitator Program Kotaku Provinsi Kalimantan Tengah yang digelar di Hotel Neo, Palangka Raya, pada 21 - 26 Juni 2018. Disadari bahwa penanganan lingkungan permukiman kumuh secara berkelanjutan bukan semata membangun sarana prasarana, yang secara numerik kontributif terhadap tingkat kekumuhan, melainkan untuk kenyamanan dan kesejahteraan para penghuninya secara berkelanjutan.
Sekalipun target Program Kotaku mencapai 0 Hektare kumuh pada 2019, jika pembangunan manusianya terabaikan, besar kemungkinan beberapa tahun berikutnya kawasan yang sudah ditata, akan kembali kumuh. Belum lagi RT-RT kumuh ringan di wilayah pencegahan. Jika saja tidak ada intervensi pembangunan manusianya, kemungkinan pada suatu saat nanti akan berubah menjadi kumuh pula. Inti kesadaran terhadap akar masalah kekumuhan inilah yang ditumbuhkan kembali.
Gagasan untuk tidak mengabaikan aspek pembangunan manusia itu mulai bergulir sejak sesi-sesi awal pelatihan. Pada sesi bahasan tentang kebijakan dengan topik belajar “Membangun Kolaborasi dan Penguatan Kelembagaan”, diskusi kelas mengerucut pada pentingya intensitas fasilitasi Kelompok Kerja Perumahan dan Kawasan Permukiman (Pokja PKP) selaku motor penggerak kolaborasi di level pemda. Pembangunan manusia di level pemda ini bukan tanpa rintangan. Karenanya, “Satu Data, Satu Peta, Satu Perencanaan” harus menjadi langkah awal agar “sang nakhoda” tidak gamang dalam mengarungi bahtera kompleksitas kawasan kumuh.
Di level kelurahan/desa, motor penggerak kolaborasinya adalah Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM). Tetapi, lagi-lagi pekerjaan rumah yang tidak ringan kembali terkuak. Disadari bahwa tingkat inisiasi BKM untuk menggalang kolaborasi masih jauh dari harapan. Alih-alih menggalang kolaborasi, menggerakkan partisipasi warga pun masih tertatih-tatih.
Menyangkut isu partisipasi warga tersebut lebih mendalam lagi dikupas sewaktu memasuki topik “Strategi Sosialisasi”. Dimensi pembangunan manusia tersebut seakan mendapat pijakan yang kokoh dalam porsi bahasan sosialisasi di setiap tahapan program. Munculnya rententan akibat laten, seperti kelembagaan BKM yang mulai mandul, Tim Inti Perencanaan Partisipatif (TIPP) yang kurang berperan, Kelompok Pemanfaatan dan Pemeliharaan (KPP) yang tidak berjalan sehingga sarana prasarana yang sudah dibangun pun tidak terawat, perilaku masyarakat pun tidak mengalami transformasi yang signifikan; semua itu buah dari strategi fasilitasi dan sosialisasi yang tidak efektif. Di sinilah peserta pelatihan menyadari pentingnya mengembangkan media sosialisasi yang efektif untuk mendorong perubahan perilaku.
Pada sesi review Rencana Penataan Lingkungan Permukiman (RPLP) yang merupakan ruhnya dari rangkaian pembelajaran, peserta menyadari bahwa perubahan kualitas hidup masyarakat itu harus dimunculkan dalam dokumen perencanaan. Selain penapisan safeguard, analisis pentagonal asset dirasa akan sangat kontributif untuk memperkaya dokumen perencanaan RPLP tiap kelurahan dampingan dari aspek livelihood. Peserta menyadari jika kualitas RPLP selama ini masih relatif kering dari aspek sosial dan ekonomi.
“Memang sih, untuk perencanaan di bidang ekonomi selama ini kegiatannya cederung global dan sasaran pemafaatnya tidak spesifik. Misalnya, bantuan dana bergulir untuk 72 kk,” tutur Tenaga Ahli Manajemen Keuangan (TA MK) OSP Kotaku Kalimantan Tengah Yusnita.
Dengan adanya kajian pentagonal asset maka perencanaan kegiatan livelihood, utamanya kegiatan sosial dan ekonomi, relatif lebih tajam, target grupnya juga sudah spesifik. Memang secara spasial sebaran Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR), tingkat pendidikan, usia, mata pencaharian, tingkat pendapatan serta data pendukung lainnya, sudah harus dituangkan ke dalam peta tematik. Tetapi begitu pentagonal asset dicoba-kaitkan dengan 7 aspek kumuh, di sini peserta mulai merasa kesulitan. Karena, ketika dikorelasikan dengan 7 aspek kumuh, ternyata tidak semua asset serta merta berhubungan secara langsung. Misalnya asset Sumber Daya Manusia (SDM) dikaitkan dengan aspek keteraturan bangunan, peserta merasakan kesulitan memahami keterkaitannya. Kecuali itu, beberapa item tertentu pertanyaan penggerak Forum Group Discussion (FGD) pun belum begitu tepat.
Tingkat kesulitan tersebut terbukti ketika praktik lapangan pada hari ke-3 dan ke-4 di Kelurahan Palangka, Kota Palangka Raya. Bukan saja narasumber yang tampak bingung menjawab pertanyaan, fasilitator FGD pun agak kesulitan mengembangkan pertanyaan-pertanyaan penggerak FGD. Namun demikian, kajian livelihood tersebut diakui peserta akan sangat memperkaya kualitas RPLP. Lagi-lagi, kajian pentagonal asset ini kian mengukuhkan pentingnya memperhatikan dimensi pembangunan manusianya.
Lantas, tanggung jawab siapakah dimensi pembangunan manusia tersebut? Dalam konteks Program Kotaku, konsultan pendamping dituntut memiliki komitmen dan integritas untuk mewujudkan lingkungan permukiman yang layak huni dan berkelanjutan.
Pada sesi topik bahasan tentang “Membangun Integritas Pelaku”, Team Leader OSP 6 Kotaku Provinsi Kalimantan Tengah Anto S Andai menegaskan poin keteladanan. “Bagaimana kita bisa menuntut komitmen dan integritas Pemda, Pokja PKP, aparat kelurahan, BKM, dan masyarakat secara keseluruhan untuk berkolaborasi mengurangi luasan kumuh, jika komitmen dan integritas tersebut tidak dimulai dari diri kita sendiri,” tegasnya. [Kalteng]
Penulis: Ma’mun Suryana, TA Sosialisasi OSP 6 Kotaku Provinsi Kalimantan Tengah
Kalimantan Tengah,Ma'mun Suryana
Kamis, 28 Juni 2018
Sumber : http://kotaku.pu.go.id/view/7133/sukses-program-kotaku-ketika-berhasil-membangun-manusianya/print
tes
ReplyDelete